Sukab & Alina Terpisah Senja

Negeri Senja Tak Lagi Jingga

Seorang tukang pos dengan pakaian kuyup basah dan berbau laut mendatangi kantorku, Kantor Polisi Negeri Senja. Aneh, ada selaput di antara jemarinya dan ketika bernafas kulit rahangnya terbuka seperti insang.Dia baru saja melaporkan penyebab gonjang-ganjing bencana senja. Entah bagaimana, seorang laki-laki mengerat senja di pantai Negeri Senja ini sehingga sekejap bumi kehilangan jingga dan nila, menyisakan putih, abu-abu, dan hitam. Dunia monokromatik.Orang-orang di pantai sempat mengejarnya, namun menurut pengakuan seorang cenayang ia lari masuk gorong-gorong dan disembunyikan pengemis di dimensi dunia lain. Celakanya ia juga mengerat senja di sana, menyisakan gorong-gorong gelap dan para pengemis yang telantar di saluran air berbau pesing. Sungguh serakah. Dua senja ia curi. Namun akhirnya dia tambal senja yang hilang itu.
Negeri Senja sempat mendapatkan jingga, nila, biru, dan ungu kembali. Namun itu senja yang ia kerat dari dunia gorong-gorong. Tak lama luntur.Pengakuan sang tukang pos tak berhenti di sini.
Ia bilang, “Pak, senja yang dicari ada di salah satu amplop yang aku antar ke Bukit Kapur di Ujung Dunia. Aku tak sengaja membukanya. Maaf aku melanggar kode etik profesi. Amplop bersepuh jingga keemasan itu tidak direkatkan sempurna dan aku tergoda. Kukira melihat sedikit saja tidak apa, toh akan kurekatkan kembali. Aku malah terhisap ke dunia di dalam amplop. Aku menjadi ikan. Ternyata selama ini mereka selalu berbicara tentang manusia. Hanya saja kita tidak tahu.”
Ah..laporan macam apa ini. Sebagai penyidik, aku tahu pasal-pasal yang dapat dikenakan pada kasus pencurian, tapi ini senja. Siapa yang bisa membuatkan pasal itu? Sungguh sial. Singkat cerita, tukang pos itu mengucap nama Sukab. Ah..si intel Melayu tukang khayal itu ternyata. Pasti dia mengirimkan senja itu kepada Alina. Ya, aku kenal dia. Perempuan dari Bukit Kapur, Ujung Dunia.

Aku dan Alina di Puncak Bukit Kapur, Ujung Dunia

Rupa-rupanya bencana senja di Ujung Dunia tinggal menyisakan sebidang tanah yang tak lagi dihuni siapapun, termasuk Alina. Susah payah perahu ini kudayung hingga sampaiku di puncak Bukit Kapur. Harusnya pencarian dan penyelidikan ini mudah dilakukan, namun petunjuk dan arah yang kubaca dari laporan Tukang Pos tak lagi sesuai. Ujung Dunia sudah dikelilingi air. Kuduga Senja itu tumpah-ruah dari amplop Kumal saat sampai di alamat Alina.
Penyelidikan ini harus kuselesaikan, tidak ada alasan. Sukab harus ditangkap entah dengan pasal apa, Alina harus ditemukan, dan Senja harus kukerat kembali dan kubawa ke Negeri Senja. Aku mendayung ke arah koordinat rumah Alina, hanya berbekal kompas tua dan petunjuk dari beberapa buku pelayaran yang kutamatkan. Semakin mendekat, kulihat perabotan rumah mengapung, balok-balok kayu yg bertumpukan, juga kabel-kabel yang seliweran. Ada satu benda yang menarik mataku. Perahu kertas. Aku ambil. Lipatannya kubuka. Oh..ada kertas lain di dalamnya. HAH..INI TULISAN ALINA! Kertas satunya kubiarkan terlipat.
Perahu kusandarkan sembarang di pucuk pohon mangga. Kubaca perlahan tulisan itu. Sepertinya ini sebuah surat. Selesai kubaca. Aku tertawa dan tertawa. Oh..oh..Sukab, nasibmu malang betul. Alina tidak pernah menyukaimu. Aku tertawa lagi.
Kubaca surat satunya. Tintanya mulai pudar karena terendam air. Kalimat pertama, “Alina tercinta”, hah..sudah pasti Sukab ini. Sungguh gombal dan goblok. Bahkan suratmu saja dikembalikannya.
Oh..kubandingkan keadaan dua kertas ini. Surat Alina masih tampak baru. Ah..ia masih dekat. Teropong kuambil dari cantolan di ikat pinggang. Kuputar searah jarum jam sambil kurekatkan dan kujauhkan titik fokusnya. Nampak di arah barat laut ada siluet perahu dan seorang yg sedang mendayung. Kuperkirakan jaraknya setengah hari. Percuma kuteriak pastinya. Tidak ada lagi kutemukan di arah selatan, tenggara, timur, timur laut, barat daya. Intuisi penyidikku mengatakan itu Alina.
Kukejar dia.
Ah..Alina. ia masih diam ketika kusapa. Entah berapa hari ia bertahan dengan supermi mentah di perahunya. Kuajak ia menepi ke tanah yang bersisa. Kuberikan sebagian perbekalanku. Karena Senja belum kukerat, jadi kutemani ia mengamatinya.
Alina bilang, “Sungguh membosankan. Sukab yang membawa senja itu. Dan sejak tumpah dari amplop, Ujung Dunia tidak pernah berganti warna selain jingga keemasan.”

Puncak Bukit Kapur tak lagi ada Senja Jingga
Dunia Gorong-gorong
Puncak Bukit Kapur, Ujung Dunia tinggal nama

Ternyata mengerat Senja bukan suatu hal yang bisa dilakukan semua orang. Entah ilmu apa yang sudah didapatkan Sukab.

Puncak Bukit Kapur yang menyisakan sebidang tanah ini tinggal menunggu waktu akan ditelan air bah yang tidak henti-hentinya membanjir. Tinggal menunggu waktu senja itu pun akan dilahapnya. Maka dunia benar-benar menjadi hitam putih.

“Alina, mari kita pergi!” Kuajaknya. “Kemana?”, Ia membalas. Aku pun hanya terpikir untuk mencari perlindungan ke Dunia Gorong-gorong. Ia mengangguk. Mungkin akan ada Sukab lain yang entah di masa depan akan mengerat senja itu.

Sebelum pergi, tidak ada salahnya kuambil satu dua foto dari tempatku berdiri. Aku dan Alina mendayung menjauh. Lalu menyusuri goa dan mencapai Dunia Gorong-gorong. Di sini, pun dunia hanya hitam putih karena Senja-nya juga dikerat.

Dari seorang pengemis yang bermain saksofon kami mendengar kabar Bukit Kapur tinggal meninggalkan sebuah batu di puncaknya dan mengapung setengah badan.

Camera: Sony A7RIII
Lens: Sony SEL 24-70 F/2.8 GM

Tembagapura, 17 Januari 2021
Terilhami dari buku berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku, Seno Gumira Ajidarma.

Leave a comment